Contents
- 1 Kenapa Saya Memilih Mendaki di Pegunungan Alpen?
- 1.1 Persiapan Sebelum Hiking: Jangan Remehkan Hal Kecil
- 1.2 Tiba di Zermatt: Desa Kecil yang Bikin Lupa Kota
- 1.3 Perjalanan Menuju Hörnli Hut: Medan Curam Tapi Hati Tenang
- 1.4 Pelajaran Berharga dari Petualangan Ini
- 1.5 Tips Praktis Buat Kamu yang Mau Coba Hiking di Alps
- 1.6 Momen Gagal yang Justru Jadi Cerita Seru
- 1.7 Setelah Turun: Apa yang Berubah dari Diri Saya?
- 1.8 Apakah Worth It Mendaki di Alps?
- 2 Author
Pegunungan Alpen terbentang di beberapa negara Eropa seperti Prancis, Swiss, Italia, Austria, Slovenia, Jerman, Liechtenstein, dan Monako. Titik awal pendakian populer saya adalah: Zermatt, Switzerland – Bahnhofplatz, 3920 Zermatt, Switzerland
Koordinat: 46.0207° N, 7.7491° E
Kenapa Saya Memilih Mendaki di Pegunungan Alpen?
Travel ini Jujur saja, dulu saya pikir hiking di luar negeri itu cuma buat orang-orang super atletis atau yang punya budget gede. Tapi semua berubah waktu saya nemu blog seorang backpacker Indonesia yang sharing soal hiking di Pegunungan Alpen Swiss. Dari situlah rasa penasaran saya tumbuh.
Saya mulai riset kecil-kecilan. Ternyata, banyak rute di Pegunungan Alpen yang bisa dilalui oleh pemula sekalipun, asal punya semangat dan persiapan matang. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah rute dari Zermatt ke Hörnli Hut, yang mengarah ke kaki Gunung Matterhorn.
Saat saya bilang ke teman soal rencana ini, banyak yang bilang saya “gila”. Tapi saya percaya, pengalaman ini akan mengubah cara pandang saya soal alam, tantangan, dan diri sendiri.
Persiapan Sebelum Hiking: Jangan Remehkan Hal Kecil
Awalnya saya pikir, ah hiking kan cuma jalan kaki. Tapi ternyata hiking di Alps itu beda jauh dari sekadar naik bukit belakang rumah. Ada cuaca ekstrem, medan berbatu, dan perubahan oksigen yang cukup signifikan.
Saya mulai latihan fisik ringan sebulan sebelumnya, seperti jogging dan naik turun tangga. Sepatu hiking juga wajib, dan saya sempat blunder karena beli sepatu murah yang ternyata kurang tahan air. Akhirnya saya ganti dengan sepatu merek lokal Swiss yang cukup terjangkau di sana.
Selain itu, saya juga packing cukup ringkas. Cukup bawa jaket tahan angin, camilan energi, botol air isi ulang, dan perlengkapan P3K. Jangan lupa sunscreen dan kacamata hitam, karena salju bisa memantulkan sinar matahari dengan intensitas tinggi.
Hal penting lainnya adalah mengunduh peta offline. Jaringan di Pegunungan Alpen bisa nggak stabil, jadi aplikasi seperti Maps.me atau AllTrails itu penyelamat banget.
Tiba di Zermatt: Desa Kecil yang Bikin Lupa Kota
Pertama kali menginjakkan kaki di Zermatt, saya langsung jatuh cinta. Udara segar, tidak ada kendaraan bermotor, dan pemandangan Pegunungan Alpen bersalju yang terasa terlalu indah untuk nyata.
Saya menginap di hostel lokal bernama Zermatt Youth Hostel – cukup terjangkau dan dekat dari stasiun kereta. Orang-orangnya ramah dan banyak juga backpacker dari berbagai negara. Jadi saya merasa aman dan tidak terlalu asing.
Di malam pertama, saya ngobrol dengan pendaki asal Belgia yang sudah lima kali naik Gunung Matterhorn. Dari dia, saya dapat banyak insight soal rute, cuaca, dan juga makanan ringan lokal yang bisa menambah tenaga.
Keesokan paginya, saya memulai perjalanan dengan kereta kabel menuju Schwarzsee, titik awal hiking saya ke Hörnli Hut. Dari sana, medan mulai menantang.
Rute hiking dari Schwarzsee ke Hörnli Hut memang hanya sekitar 4–5 jam, tapi medannya bisa membuatmu merasa hiking seharian. Batu-batu besar, jalur berliku, dan suhu yang terus berubah bikin saya harus ekstra fokus.
Tapi, sepanjang jalan, pemandangan yang saya temui bikin capek jadi nggak terasa. Di kiri ada danau kecil, di kanan jurang dengan latar salju. Sering kali saya berhenti cuma buat foto atau sekadar mengagumi alam.
Ada satu momen yang saya nggak akan lupakan. Saat saya mulai merasa lelah, tiba-tiba seekor kambing gunung lewat depan saya sambil menatap seperti bilang, “ayo, manusia, kamu bisa.” Serius, itu semacam motivasi alam versi nyata.
Dan waktu saya akhirnya sampai di Hörnli Hut, rasanya campur aduk. Senang, bangga, dan… lapar. Untungnya, di hut itu ada kafe kecil yang jual sup hangat dan teh herbal. Nikmatnya nggak main-main.
Pelajaran Berharga dari Petualangan Ini
Satu hal yang saya pelajari dari hiking di Alps: kadang kita perlu menjauh dari kenyamanan untuk tahu seberapa kuat kita sebenarnya. Saya bukan pendaki profesional, bahkan sempat salah sepatu dan hampir nyasar. Tapi dari kesalahan itu, saya belajar lebih banyak daripada dari teori manapun.
Selain itu, saya juga menyadari pentingnya mendengarkan tubuh. Ada titik di mana saya memaksakan diri terus jalan, padahal lutut sudah protes. Akhirnya saya istirahat sejenak, dan hasilnya malah lebih kuat untuk lanjut.
Saya juga belajar menghargai alam dengan cara yang lebih dalam. Setiap langkah di jalur hiking membuat saya sadar bahwa gunung bukan tempat untuk ditaklukkan, tapi untuk dipahami dan dihargai.
Tips Praktis Buat Kamu yang Mau Coba Hiking di Alps
Oke, jadi kamu juga tertarik hiking ke Pegunungan Alpen? Nih, saya kasih beberapa tips berdasarkan pengalaman saya:
Latihan Fisik Ringan: Mulai dari jogging, naik-turun tangga, dan yoga ringan buat fleksibilitas.
Investasi di Sepatu dan Jaket: Jangan pelit di dua barang ini, karena mereka bisa menyelamatkan kamu dari cidera atau kedinginan.
Unduh Peta Offline: Jangan terlalu andalkan sinyal. Aplikasi offline itu penyelamat banget.
Bawa Camilan Energi: Kurma, granola bar, dan dark chocolate bisa bantu banget.
Cek Cuaca Setiap Hari: Cuaca di Pegunungan Alpen itu bisa berubah total dalam hitungan jam.
Mulai dari Jalur Pendek: Kalau baru pertama, pilih jalur seperti Zermatt ke Hörnli Hut, bukan langsung ke puncak Matterhorn.
Dan jangan lupa, nikmati prosesnya. Hiking bukan perlombaan. Kadang yang bikin pengalaman berkesan itu justru obrolan dengan pendaki lain atau momen kecil kayak ketemu kambing gunung tadi.
Momen Gagal yang Justru Jadi Cerita Seru
Nggak semuanya berjalan mulus, tentu saja. Di hari kedua, saya iseng coba jalur ke Gornergrat tanpa cukup persiapan. Salah kostum, cuaca mendung, dan saya kehabisan air di tengah jalan.
Akhirnya saya harus turun lebih cepat dan merasa cukup frustasi. Tapi di perjalanan turun, saya ketemu pasangan suami istri asal Austria yang ngajak saya ngobrol. Mereka bahkan berbagi air dan buah.
Dari situ saya belajar dua hal penting: selalu siap sedia, dan jangan malu untuk minta bantuan. Pendaki itu satu komunitas besar yang saling bantu, walaupun beda negara atau bahasa.
Setelah Turun: Apa yang Berubah dari Diri Saya?
Setelah petualangan di Pegunungan Alpen, saya merasa… lebih ringan. Bukan cuma secara fisik, tapi mental juga. Ada semacam ketenangan yang saya bawa pulang, dan itu bertahan berminggu-minggu.
Saya jadi lebih menghargai hal kecil seperti jalan kaki di taman, atau bangun pagi dan menghirup udara segar. Setiap kali saya stres, saya ingat lagi pemandangan dari Hörnli Hut, dan rasanya jadi lebih tenang.
Bahkan sekarang, saya mulai rutin hiking kecil-kecilan di sekitar kota saya. Siapa tahu, ini awal dari kecanduan hiking jangka panjang, ya kan?
Apakah Worth It Mendaki di Alps?
Kalau kamu tanya saya sekarang, “Worth it nggak sih hiking di Pegunungan Alpen?” Jawaban saya: Seribu persen worth it. Bukan cuma buat foto-foto atau pamer di media sosial, tapi buat merasakan hidup yang lebih nyata, lebih dalam.
Dan saya yakin, siapa pun bisa melakukannya. Kamu nggak perlu jadi atlet atau punya duit segunung. Yang kamu butuh hanya semangat, rasa penasaran, dan sedikit keberanian untuk melangkah keluar dari zona nyaman.
Baca Juga Artikel Berikut: Pantai White Boracay: Cerita Tak Terlupakan dari Surga Tropis Filipina